PGP-Angkatan2-Kota BandarLampung-Lulu Yudhisinta Nuranggeraini-1.4-Rancangan Aksi
Penerapan Budaya Positif melalui
Kesepakatan Kelas dan Kesepakatan Keluarga
Alhamdulillah saat ini Pendidikan Pelatihan PGP yang sedang kami jalani telah sampai di modul 1.4 yaitu materi Budaya Positif sebelumnya ijinkan kami menyampaikan latar belakang situasi yang sedang saya hadapi di dalam unit kerja kami.
UPT SMPN 25 Bandar Lampung adalah sekolah negeri yang berada di tengah kota namun tata letaknya tidak di pusat keramaian, sekolah kami berada bersebelahan dengan dinas pendidikan kota bandarlampung, dan juga bersebelahan dengan Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bandar Lampung.
Peserta didik kami sangat berfariasi, input atau lulusan Sekolah dasar yang masuk ke Sekolah kami 50% peserta didik reguler dan 50% peserta didik bina lingkungan yang berasal dari peserta didik yang tinggal dekat dengan sekolah kami, orang tua peserta didik memiliki latar belakang pendidikan beragam, dan jenis pekerjaan yang juga beragam.
Pendidik dan tenaga pendidik yang berada di sekolah kami memiliki kekuatan yang saya pandang dapat menjadi bekal menuju perubahan budaya sekolah yang lebih baik, kekuatan pendidik kami adalah care, mau belajar, disiplin, loyal dan kompak.
Saya sendiri berprofesi sebagai Konselor Sekolah yang memberikan Pelayanan Konseling, yang diamanahkan menjadi Koordinator Pelayanan Konseling saya memiliki tiga rekan kerja yang seprofesi dengan saya. Dalam pelayanan konseling saya berinteraksi dengan peserta didik, baik peserta didik asuh atau pesert didik yang memilih mengakses layanan konseling dengan saya, memberikan berbagai layanan konseling kepada peserta didik amat menyenangkan bagi saya pribadi.
Selain itu saya juga memberikan layanan konsultasi untuk orang tua wali murid dan para pendidik atau peserta didik serta masyarakat yang membutuhkan. Adapun jenis layanan yang sering digunakan adalah layanan Informasi yang diberikan ke dalam kelas- kelas peserta didik asuh, sebutan yang populer saat ini adalah layanan bimbingan klasikal, layanan konseling individual, konseling keluarga, mediasi, konsultasi, bimbingan kelompok dan konseling kelompok dan kegiatan pendukung Home Visit jika dibutuhkan.
Dalam masa pandemi ini, kami memberikan pelayanan konseling secara kombinasi dalam jaringan dan luar jaringan. Sekolah kami untuk Dua Belas mata pelajaran belajar menggunakan moodle, WhatsApp, Blog, Lark Meeting, Zoom, Google meet, youtube dan aplikasi lain sesuai dengan kemampuan dan kreatifitas pendidik. Untuk kami tim pelayanan konseling menggunakan aplikasi sederhana yang bisa kami gunakan, melaui chat pesan WhatsApp, Blog, Podcast pribadi, Google meet atau Lark Meeting.
Adapun permasalahan yang kami rasakan adalah keprihatinan kami terhadap sebagian peserta didik yang kurang berani untuk menyampaikan ide pikiran dan perasaan mereka saat dilakukan diskusi bersama pendidik dan peserta didik.
Selain itu penulis juga menemui keluhan dari beberapa pendidik dan beberapa orang tua yang menyatakan kesulitan untuk mempengaruhi atau mengarahkan anaknya dalam melaksanakan pembiasaan positif .
Maka dari itu bagi penulis kesepakatan kelas dan kesepakatan keluarga adalah salah satu cara yang bisa diterapkan agar peserta didik bisa mengeluarkan pendiapat ide dalam berdiskusi membuat kesepakatan kelas dan kesepakatan keluarga.
Aksi nyata yang kami lakukan adalah membuat kesepakatan kelas dan kesepakatan keluarga dengan perwakilan peserta didik UPT Sekolah Menengah Pertama. Hal ini kami lakukan dikarenakan setelah kami mempelajari materi modul 1.4 Budaya Positif. Kami merasa bahwa sekolah kami perlu menerapkan “Kesepakatan Kelas”dan “kesepakatan keluarga” dengan harapan setelah kesepakatan kelas berhasil diterapkan, lalu nantinya akan ada banyak pendidik di sekolah kami yang menerapkan hal tersebut, maka hal ini akan menjadi budaya positif didalam sekolah.
Sekolah kami lima tahun yang lalu memiliki buku point yang diberikan kepada peserta didik dengan harapan dapat mengendalikan peserta didik untuk bisa memiliki sikap dan perilaku yang baik sesuai harapan dan visi sekolah. Saya sendiri tidak setuju dengan adanya buku point tersebut, karena bagi saya hal tersebut tidak efektif dalam membentuk perilaku peserta didik. peserta didik seolah difokuskan kepada hal perilaku negatif, dibuku tersebut terdapat semua perilaku negatif dan nilai point yang didapatkan.
Saya membayangkan jika peserta didik sering melihat kata-kata negatif tanpa sadar itu yang akan tertanam diri mereka, sedangkan perilaku positif yang baik yang sudah dilakukan oleh peserta didik minim diberi apresiasi, tidak ada penguat yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik, dan ini tidak adil bagi saya pribadi. Kemudian seiring berjalan waktu alhamdulillah sistem point tidak diterapkan lagi, walau peraturan tetap ada.
Sebelum saya mendapatkan ilmu dari diklat PGP materi ini, saya sudah mengetahui bahwa pembuatan aturan yang baik adalah melibatkan semua unsur di sekolah, namun pada saat itu saya belum memiliki kekuatan yang lebih untuk bisa melakukan negosiasi, melakuan komunikasi persuasif dengan Kepala sekolah dan pendidik lainnya. Sehingga saya hanya mengikuti alur budaya yang sudah ada di dalam unit kerja kami.
Dan sampai akhirnya saya mengikuti diklat PGP ini, yang membuat saya lebih tenang karena merasa bahwa pemahaman saya yang tidak menyetujui adanya sistem poin di sekolah, didukung oleh materi yang sedang dipelajari dalam diklat ini, bahwa perlu sekali dilakukan perubahan dalam sekolah sehingga akan tercapai suasana merdeka belajar pendidikan yang berpihak kepada peserta didik.
Hal ini benar-benar saya syukuri sehinga saya memiliki kekuatan dan rasa percaya diri yang lebih untuk bekerjasama dengan masyarakat sekolah, rekan pendidik, orang tua dan peserta didik dalam menerapkan budaya positif di Sekolah.
Kami sangat
ingin mewujudkan Pendidikan sesuai pemikiran Ki Hajar Dewantara dimana proses belajar
mengajar itu sebuah kegiatan menyenangkan dan penuh makna. Bisa membuat peserta
didik memiliki karakter yang baik dan membahagiakan bagi peserta didik yang
menjalaninya dan juga bagi pendidik formal maupun pendidik informal. Maka dari
itu langkah pertama yang kecil dan sedikit ini kami laksanakan.
Dalam proses aksi nyata kami, tentu ada kendala yang muncul diluar prediksi namun bisa kami siasati, kendalanya adalah jaringan yang tidak stabil, sehingga saat kami sedang berbicara, tiba-tiba bisa keluar dari google meet atau tidak bisa didengarkan oleh peserta didik. Solusi yang kami siasati adalah bekerjasama dengan pendidik lain yang sebelumnya sudah memahami mengenai apa yang akan di sampaikan dalam proses aksi nyata, sehingga saat kendala muncul, pendidik yang diajak berkolaborasi dapat menggantikan menyampaikan, apa yang tadinya terhambat atau terpotong atau terputus di tengah sesi pemberian materi.
Alhamdulillah walau jumlah peserta didik yang diundang untuk mengikuti proses belajar membuat kesepakatan kelas dan kesepakatan keluarga tidak full satu kelas, namun hampir 70% bisa mengikuti dan mereka bisa mengeluarkan aspirasi pendapat mereka dibantu oleh wali kelas yang mendorong agar mereka mau menjawab pertanyaan yang saya berikan, untuk mengantisipasi peserta didik yang malu menjawab didepan umum, saya mempersilahkan mereka untuk mengeluarkan pendapat dan aspirasi melalui chat wa personal.
Peserta didik menjawab langsung di dalam chat wa pribadi saya dengan begitu, saya dapat dengan mudah memahami merespon bahkan menanyakan kembali menggali pemahaman mereka tentang apa yang mereka tulis, ini salah satu kemudahan yang bisa dilakukan saat daring, lalu semua jawaban mereka saya rangkum dan kembali saya sampaikan kepada mereka dalam bentuk poster, setelah itu mereka menanggapi poster yang berisi kesimpulan rangkuman kelas impian mereka.
Hasilnya mereka senang ketika saya membantu membuatkan poster berdasarkan aspirasi mereka kesepakatan kelas yang mereka inginkan. Rencana pelaksanaan di masa mendatang saya akan berkolaborasi dengan pendidik lain, saya akan mendampingi wali kelas yang ingin membuat kesepakatan kelas dengan peserta didiknya dan saya akan mensosialisasikan kesepakatan dalam keluarga kepada orang tua wali murid, sehingga nanti setiap keluarga juga memiliki kesepakatan yang membantu para orang tua dalam mengarahkan perilaku peserta didik di dalam rumah dan lingkungan keluarga.
Karena bagaimanapun juga pendidikan yang utama dan pertama adalah keluarga, jika hal ini diaplikasikan kedalam setiap keluarga di Indonesia maka akan ada banyak sekali perubahan positif budaya positif yang akan membawa negara Indonesia menjadi negara yang maju serta memiliki kualitas pendidikan yang baik.
Aksi nyata kesepakatan kelas ini merupakan proses yang berkelanjutan, di awal kegiatan kelas konseling, kami berusaha untuk selalu membuat kesepakatan kelas, hal ini untuk melatih kemampuan berpikir kritis peserta didik, mengingat zaman yang terus berubah, untuk mengasah ide peserta didik
Dan untuk aksi nyata kesepakatan keluarga akan kami terapkan saat melakukan konseling keluarga atau home visit, untuk memudahkan orang tua dan anak dalam membuat kesepakatan keluarga. Adapun kegiatan home visit dan konseling keluarga merupakan program yang sifatnya insidental namun kami berupaya untuk menjadikan hal ini budaya di sekolah.
Dengan mengarahkan orang tua dan anak membuat kesepakatan keluarga harapannya akan banyak keluarga yang memiliki kualitas pendidikan yang baik untuk meraih harapan terbentuknya profil pelajar pancasila
Demikian yang dapat kami sampaikan, terimakasih atas perhatiannya, tetap semangat beribadah berkarya dan mengikuti protokol kesehatan Menjaga Jarak, mencuci tangan dan menggunakan masker.😊
Semangat selalu kita dalam memberi pelayanan kepada siswa dalam berbagai kondisi, semoga semua pelayanan kepada siswa dapat membangung budaya positif bagi siswa dan juga sekolah.
BalasHapusLuar biasa Bu Lulu! Semoga dengan memberi layanan konseling bagi masyarakat yang membutuhkan menjadi ladang amal bagi Bu Lulu. Aamiin...
BalasHapus